Jumat, 11 Desember 2015

Nyaman Hilang, Kiamat Datang

Cerpen Karangan:

Pasangan adalah suatu makhluk dari jenis spesies tertentu yang bisa memberikan kenyamanan pada kita. Diusahakan bahwa pasangan tersebut harus berasal dari spesies yang sama dengan kita. Ingat, jenis spesiesnya yang sama, bukan jenis kelaminnya.
Contohnya, manusia laki-laki berpasangan dengan manusia perempuan. Tokek jantan berpasangan dengan tokek betina. Bapak-bapak berpasangan dengan Ibu-ibu. Hingga sepatu sebelah kanan berpasangan dengan sepatu sebelah kiri.
Mencari pasangan itu hanya masalah mencari kenyamanan. Pasangan yang tepat adalah seseorang yang bisa memberikan rasa nyaman pada kita. Maka bisa kita sebut bahwa kebahagiaan yang hakiki sesungguhnya berasal dari sebuah rasa nyaman. Catat!
Kenyamanan gak diukur dari seberapa cakepnya dia, seberapa banyak harta dan surat tanahnya, seberapa jagonya dia main flappy bird, ataupun seberapa kerennya dia waktu lagi nyanyi lagu-lagu Kangen Band.
Kenyamanan bukan masalah fisik, penampilan dan materi semata. Kenyamanan gak serumit dan gak sekampret itu. Kenyamanan jauh lebih sederhana dari itu. Karena kenyamanan hanya bisa kita rasakan, bukan kita lihat kemudian kita pamerkan. Simpel kan?
Di zaman yang penuh dengan cabe-cabean kayak sekarang ini, masih saja banyak pasangan yang sesat dalam menjalani hubungannya. Bahkan mungkin bakal berlanjut sampai nanti munculnya zaman saos-saosan botol, sebuah hasil revolusi industri dari cabean-cabean.
Masih banyak para insan asmara yang terjebak dalam dunia yang salah. Mereka menjalani sebuah hubungan dengan alasan kebanggaan tapi bukan dengan alasan kenyamanan. Jadi gak mengherankan kalau banyak manusia-manusia galau yang berkeliaran di jejaring sosial.
Keluhan mereka bermacam-macam jenisnya. Mulai dari “Si doi udah gak ngertiin aku lagi” sampai pada “Dia gak peka, egois, jahat”. Makhluk yang mengucapkan kata-kata itu udah bisa dikategorikan sebagai makhluk yang kehilangan rasa nyaman terhadap pasangan.
Ujung-ujungnya, mereka bakal berkonflik, putus, nangis, galau, putus asa, ambil silet, potong nadi dan kemudian selesailah sudah. Semua akan berakhir di neraka. Dan kalian akan hidup sengsara di sana, selamanya.
Dalam memilih pasangan, gue adalah salah satu manusia yang paling memperhatikan rasa nyaman. Kenyamanan adalah hal pertama yang gue cari dari seorang cewek. Yang kedua, ketiga, keempat, sampai kesepuluh adalah warisan dari bapaknya yang super tajir dan konglomerat. Karena menurut gue, kecantikan seorang cewek bukan menjadi sebuah masalah. Yang jadi masalah adalah kalau si cewek itu jelek, apalagi jelek banget.
Oke, kembali ke aspek kenyamanan. Tingkat keseksian seorang cewek akan meningkat berkali-kali lipat saat dia bisa memberikan rasa nyaman pada kita, para pria non-hom*. Cewek emang terlahir sebagai makhluk yang lembut. Bisa gue bayangkan gimana lembutnya seorang cewek, melebihi lembutnya pantat bayi sehabis disabunin.
Sekedar informasi, sebenarnya jenis kelamin manusia itu terbagi ke dalam 3 golongan. Pertama, wanita. Kedua, pria non-hom*. Dan ketiga, pria hom*. Wanita berpasangan dengan pria non-hom*. Sedangkan pria hom* berpasangan dengan teman sejenisnya.
Durasi suatu hubungan akan berbanding lurus dengan rasa nyaman yang ada di hubungan tersebut. Selama rasa nyaman itu masih ada dan bisa terus dipertahankan, maka tidak akan mungkin hubungan tersebut akan berakhir. Kalau pun berakhir, maka akan berakhir di jenjang pernikahan. Paling parahnya, kematian.
Jadi, berdasarkan teori cinta Inoph III, bisa dirumuskan:
T = C/P
T = Time/durasi sebuah hubungan.
C = Comfort/kenyamanan.
P = Problem/masalah.
Bicara masalah rasa nyaman, gue teringat pengalaman cinta yang terkait dengan rasa nyaman. Pacar gue semasa SMA, namanya Dina. Cewek berpipi bakpao, manis, perhatian dan jago masak. Dina adalah tipikal keibu-ibuan bagi gue. Mungkin karena mukanya yang mirip sama ibu-ibu PKK.
Singkat cerita, 2 menit setelah jadian, Dina udah sayang banget sama gue. Mungkin semua yang gue minta bakalan dipenuhi sama dia. Termasuk kalau gue pengen gumpalan emas di puncak Monas. Tapi untungnya Dina gak salah pilih pacar, gue gak sematre dan semurahan itu.
Gue pun sebenarnya juga sayang banget sama Dina. Dia tipe cewek yang perhatian banget. Dia tipe keibu-ibuan. Dia tahu kapan waktunya buat bersifat dewasa dan kapan waktunya buat bersifat kayak anak TK. Gue juga suka banget sama masakannya Dina. Masakan andalan Dina adalah nasi putih dan mie rebus pake telor.
Awalnya, Dina emang bisa memberikan rasa nyaman buat gue. Dia selalu bisa jadi temen curhat buat gue. Dia selalu bisa bikin gue ketawa. Dia juga bisa memberikan perhatian yang bakalan bikin cowok-cowok jadi meleleh kalau berada di posisi gue.
Tapi, setelah durasi pacaran kita berjalan dua bulan, tepatnya semenjak negara api menyerang, Dina mulai menunjukkan sifat aslinya.
Jauh dari apa yang gue bayangkan, Dina menjadi semakin berlebihan. Dina menjadi semakin liar dan lepas kendali. Mungkin karena rasa sayangnya yang terlalu berlebihan ke gue. Dan saat itu gue sadar, ternyata rasa sayang yang berlebih itu gak baik juga.
Dina berubah dari yang awalnya adalah cewek perhatian menjadi cewek over-perhatian. Mungkin perbedaannya cuma satu kata, yaitu over. Tapi satu kata itu adalah neraka buat gue.
Dina semakin menunjukkan perhatian yang berlebihan ke gue. Bahkan perhatiannya melebihi perhatian seorang ibu kecebong yang menyayangi 78 ekor anaknya. Pernah suatu kejadian, waktu gue main ke rumah Dina.
“Sayang, kamu udah makan belum?” tanya Dina.
Gue pun memasang wajah lesu, tak bersemangat. “Udah, tapi cuma dikit. Lidah aku lagi sakit. Jadi susah makan.” jawab gue, gagu karena sakit lidah.
Alhasil, Dina langsung lari ke dapur, menyerupai seekor kangguru betina penuh nafsu, mengambil sepiring makanan buat gue. Gue pun dipaksa untuk makan. Akhirnya gue terpaksa makan dengan disuapin oleh Dina yang udah memasang muka galak, seolah-olah bakalan merasengan* kalau gue gak bisa menghabiskan makanan itu. Kemudian, gue pulang dengan lidah penuh luka-luka.
*Rasengan: Sejenis jutsu/jurus di anime Naruto yang bisa menghancurkan sebuah ruko bertingkat 4.
Dina emang perhatian sama gue. Tapi gak nyaman juga kalau perhatian yang terlalu berlebihan. Malah bakalan bikin risih.
Dina juga tipe cewek “pencemburu” sifat dasar dari seorang cewek. Tapi, seperti yang gue takutkan, Dina menunjukkan sifat cemburu yang terlalu berlebihan.
Setiap nomor baru yang masuk ke handphone gue bakalan dia interogasi. Ternyata, pacar gue agak mirip sama bapak-bapak polisi. Bedanya, Dina gak punya pistol di dalam celananya.
Apalagi kalau si pemilik nomor tersebut adalah seorang cewek. Dina bakalan nyari tahu identitas yang punya nomer tersebut. Bahkan sampai ke makanan kesukaan (bahasa alaynya : makes) dan zodiak dari si pemilik nomer tersebut.
Pernah suatu waktu, adik kelas gue, cewek (asli, bukan waria), ngirim sms ke nomer gue. Waktu itu Dina lagi megang handphone gue, sambil main game Ayo Dance. Kemudian dia baca sms petaka itu.
Awalnya dia bales sms itu atas nama dan identitas gue. Dan akhirnya dikerjainlah si adik kelas yang malang itu. Ujungnya, si adik kelas itu gak berani ngirim sms lagi, selamanya. Gue pun jadi bahan pelampiasan kemarahan Dina. Betapa malangnya si pria malang ini.
Menginjak 5 bulan usia pacaran, gue semakin gak tahan. Gue gak bisa kalau terus-terusan begini. Hati gue berontak. Otak gue rusak. Dan kepala gue botak.
Kemudian gue putuskan untuk mencari sebuah goa. Goa yang bakalan gue pake buat bersemedi selama beberapa hari. Gue harus cari cara buat menyelesaikan semuanya. Dan akhirnya, ketemulah goa Kelelawar, isinya para siluman kelelawar.
Akhirnya, gue coba buat ambil tindakan. Sekarang bukan zamannya cowok dijajah oleh cewek-cewek galak. Gue harus hentikan itu semua. Sebelum spesies cowok menuju masa kepunahan.
Gue ambil handphone, kemudian gue kirim sebatang sms buat Dina. Karena gue tahu, gue bakalan dibunuh sama dia kalau ngomong secara langsung.
“Sayang, aku mau bilang sesuatu boleh?” delivered.
2 menit kemudian, datanglah sebuah sms balasan. “Lo hom* Noph? Ini gue, Bambang.”
Dan ternyata gue salah kirim. Mungkin karena gue terlalu takut. Takut mati mengenaskan dibunuh pacar sendiri. Akhirnya gue coba kirim ulang ke Dina.
“Sayang, aku mau bilang sesuatu boleh?” delivered juga.
Semenit kemudian datanglah sebuah balasan. Kali ini gue yakin gak salah kirim. “Boleh dong. Mau bilang apa?”
Kemudian gue bales dengan lancarnya, merasa jadi lelaki sejati. “Kita putus aja ya?”
“Loh, kok putus? Kamu jangan becanda gitu dong. Gak lucu ah.” bales Dina.
Gue bales lagi, “Aku serius.”
Kemudian si calon mantan pacar gue itu ngebales lagi, “tapi kenapa? Kok tiba-tiba bilang putus?”
Mendadak gue pun bingung harus jawab apa. Otak gue terlalu lemah untuk memprediksi kalau pertanyaan semacam ini bakalan keluar. Jauh dari apa yang gue bayangkan.
Gue takut salah ngomong dan akhirnya Dina bakalan berubah menjadi siluman buaya. Amit-amit banget kalau gue matinya diterkam siluman buaya.
Kemudian sebuah lampu teplok di dalam otak cerdas gue menyala. Gue dapat sebuah ide yang lumayan logis. Seenggaknya Dina gak mungkin marah. Dan mungkin Dina sedikit bisa terima.
Akhirnya gue bales dengan kalimat indah ala anak sekolahan.
“Aku mau fokus belajar dulu. Aku gak mau ngecewain orangtua.”


diambil dari:
 http://cerpenmu.com/cerpen-gokil/nyaman-hilang-kiamat-datang.html

0 komentar:

Posting Komentar